“Bersahabatlah dengan penjual minyak wangi, maka kita akan menerima percikan wanginya. Manakala bersahabat dengan tukang besi, percikan apinya akan mencarikkan baju kita.”
Hal itulah yang telah lama saya yakini dan benar-benar
terbukti. Ketika kamu berteman dengan sekumpulan orang yang suka merumpi maka
kamu akan terbawa suka merumpi, ketika kamu berteman dengan sekumpulan orang
pemikir maka kamu akan terbiasa berpikir.
Untuk itulah, mulai biasakan membaur dengan orang-orang hebat, maka kamu pun akan hebat. Dan orang hebat yang beberapa waktu lalu saya temui adalah editor saya sendiri, Mbak Dyah Rinni.
Pertemuan saya dengan Mbak Dee ini dalam rangka proses
mentoring kepenulisan yang diadakan oleh Penerbit Mokamedia. Melalui proses
seleksi, saya bersama teman lama saya, Bang Juliardi Ahmad, terpilih sebagai
‘anak didik’ yang akan dimentor oleh satu editor dari Mokamedia yang ternyata
adalah Mbak Dee.
Kelas mentoring offline pertama ini berjalan santai tapi ‘greget’.
Pada awalnya tugas pertama saya diperiksa, yakni berupa sinopsis lengkap dan
outline utuh. Selain tugas tersebut, saya juga digencar dengan segala
pertanyaan menyangkut ide cerita yang saya buat. Kali ini pelakunya adalah Mbak
Sasa, yang juga merupakan editor Mokamedia. Rasanya dicecar pertanyaan oleh
editor? Deg deg hhwwr.
Pertanyaan yang diajukan mulai dari pertanyaan umum seperti,
ide cerita hingga keterkaitan antartokoh. Sampai akhirnya seputar pertanyaan
yang mendalam seperti setiap adegan yang memiliki arti sehingga tidak sia-sia
dan logika cerita.
Untuk sesi pertama, saya berada di posisi aman yang artinya
Mbak Dee menyetujui ide yang saya ajukan. Namun ketika saya menyimak
penyampaian Bang Jul, saya jadi merasa kerdil. Rasanya ide saya itu pasaran
banget. Ngga banget. Dan akhirnya saya menjadi gelisah.
Karena tidak ingin bermain aman, saya mempertanyakan kepada
diri saya sendiri, “Benarkah ini yang benar-benar ingin saya tulis?”. Karena sebaik-baiknya tulisan adalah yang
ingin kamu baca kelak, bukan cerita yang sedang hits atau sekedar mengikuti
arus. Akhirnya Mbak Dee mempertanyakan tentang segala hal; karakter tokoh,
keterkaitan antartokoh, sudut pandang penulisan yang akan dipakai, sampai
ending yang sebaiknya disajikan.
Selama proses mentoring, saya banyak menemukan pencerahan. Yang pertama adalah unsur terpenting dalam
sebuah cerita.
Bukan ide, bukan
setting. Namun yang sangat penting adalah tokoh.
Kenapa tokoh? Karena tokohlah yang akan kita ‘hidupkan’ di
sebuah perjalanan yang akan kita tulis. Karena dari tokohlah kita dapat
menemukan ide yang menarik, membuat adegan-adegan yang dinamis, hingga amanat
yang akhirnya ingin disampaikan. Melalui
tokohlah kita akan memulai segalanya. Inilah yang juga saya tangkap dalam
buku “DRAF 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu” oleh Winna Efendi, yaitu tokohlah yang akan membawamu menemukan jalan
cerita yang memukau, karena tokohlah yang kelak akan menemukan akhir kisah
mereka.
Jadi, untuk yang pertama kali ditemukan adalah ide mentah.
Disusul ciptakan tokoh-tokoh yang sebaiknya bermain dalam ‘kehidupan yang kita
buat’. Tokoh seperti apa yang baik? Tentunya tokoh yang akan membawamu
menemukan jalan cerita yang seru. Biarkan tokoh yang menunjukan arah mana yang
sebaiknya kamu tulis dalam cerita hingga akhirnya sampai pada akhir cerita. Hal
itu dapat kita temukan dari pikiran, perasaan, tingkah laku hingga masa lalu
tokoh.
Pembelajaran kedua
adalah ciptakan adegan yang memiliki makna, kalau perlu saling terkait sehingga
tidak mubazir.
Hal ini masih banyak ditemui di novel Indonesia. Salah satu
novel yang memiliki adegan yang memiliki makna adalah “Winter in Tokyo” karya
Ilana Tan. Dalam novel tersebut, Ilana menyajikan adegan-adegan yang saling
berhubungan, bisa berupa sebab-akibat ataupun memiliki makna yang spesial.
Jadi, adegan yang ditulis pun tidak jadi adegan biasa..tapi adegan yang
memberikan makna.
Caranya? Saya mempelajarinya dari buku Om A.S. Laksana yang
dalam bukunya, “Creative Writing”, menyajikan konsep show don’t tell. Jadi tulislah seperti kamu ingin menunjukan
sesuatu secara langsung, salah satunya dengan menggunakan detail.
Pembelajaran ketiga
adalah buatlah tulisan yang filmis.
Apa itu filmis? Tulisan yang filmis itu biasa diartikan
sebagai tulisan yang mendekati hal yang aslinya, menjadikan pembaca mudah untuk
mengkhayalkannya. Jadi sewaktu pembaca tersebut melahap tulisan, pembaca dengan
mudah membayangkannya sehingga membaca pun seperti menonton lewat tulisan. Hal
ini juga memungkinkan novel tersebut mudah untuk ‘dilirik’ produksi film,
karena tentunya mereka mencari naskah cerita yang mudah sekaligus memikat untuk
ditranskripsikan menjadi sebuah film.
Pelajaran diatas hanyalah sekelumit yang dapat saya tulis
kembali disini, selain itu? Banyaklah membaca buku panduan menulis dan satu
lagi, bacalah buku tentang bagaimana cara proses kreatif. Karena pada dasarnya
menulis bukan hanya tentang teknik menulis, tetapi lebih kepada berproses untuk
kreatif.
Dan inilah beberapa wejangan dari Mbak Dee, beberapa diantaranya adalah buku
tentang cara berproses kreatif. Untuk buku-buku ini, akan saya tuliskan di
artikel selanjutnya ya :)