29 Agu 2014

Tentang Merelakan

Tubuhku menggigil hingga buku jemariku mati rasa. Dimulai dari lengan, merambat naik ke pundak, hingga akhirnya sampai ke kepala usapan dingin itu makin memuncak. Sapuan napas yang tercekat itu seketika melembut saat berhasil mendekapku erat.
"Bagaimana bisa kau tidur dengan pikiran-pikiran
yang berisik seperti itu?" Nadanya tajam seperti matanya. Napasnya dingin seperti auranya.
"Kau tidak tahu rasanya. Ini terjadi di luar kendaliku."

Dia terlihat seperti menahan amarah, "Itu karena kau belum merelakan sesuatu yang seharusnya kau relakan."

"Kau sama sekali tak pantas berbicara mengenai mengikhlaskan. Karena kau sama sekali belum pernah melakukannya."

"Tapi aku selalu mengusahakannya
, kau tahu
..aku selalu mengusahakannya
setelah aku memilihmu."
"Kau memang bodoh. Kau sendirilah yang membuatku begini, bodoh. Kata-katamu lah yang terus membuatku begini." Aku terisak menahan tangis.

Jemarinya terangkat hendak mengusap, namun urung dilakukan.
 
Sragen, 23 Agustus 2014

Ibu dan Buku

"Kamu itu anak Ibu yang paling aneh. Selalu punya dunia sendiri. Dan duniamu itu berganti-ganti.
Dulu duniamu adalah tidurmu, kamu gemar sekali tidur. Seakan-akan mimpimu terus berlanjut dan tiada berujung. Pernah juga duniamu berputar pada penjelajahanmu. Kamu ikut pramuka dan kelompok pecinta alam yang menjadikan kulitmu gelap begitu. Sekarang, duniamu tak bergerak sejengkal pun dari tumpukan buku. Kamu bisa tahan duduk atau rebahan selama berjam-jam dengan segala posisi aneh sampai-sampai Ibu khawatir nantinya kamu akan mendapatkan penyakit karena sendi-sendi yang tak kamu gerakkan itu."
Pada awalnya aku hanya terdiam, lalu tertawa tanpa suara. Aku ingin sekali menjelaskan padanya, bahwa tumpukan buku yang baginya hanya menyesakkan rumah kecil kami itu sesuatu yang berharga. Aku mendapatkan dunia mimpi dan dunia menjelajahku dalam satu paket di dalamnya. Aku dapat bermimpi tanpa harus tidur dan dapat menjelajah dunia tanpa harus bergerak dari tempatku. Aku ingin sekali menjelaskannya.
.tapi tidak sekarang. Nanti. Saat bukuku akan memenuhi rumah kecil kami dan aku akan menemukan beragam dunia yang masih tersembunyi. Entah dunia pelintas waktu, dunia penuh cermin atau pun dunia yang lain.
Nanti ya Bu. Ibu akan bersabar untukku, kan?

Bisik Embun



03.00 - Aku baru saja kembali, menyudahi pertemuan dinginku dengan embun. Mereka banyak berbicara padaku, namun aku terlalu menggigil sehingga lebih sering mengantukkan kepala serta meniupkan telapak tanganku. Yang terakhir kali kudengar, tak sekali pun embun merasa masanya terlalu singkat. Dia rela matahari membakar dirinya, menguapkan setiap buliran dirinya terbang kembali ke langit. Mereka bahagia. Karena merekalah yang menemani doa-doa para manusia untuk sampai ke langit. Segala macam doa; doa sebelum tidur, doa igauan mimpi, doa dalam sujud tahajjud atau pun doa yang hanya dirapalkan dalam hati.

Terima Kasih. Semoga engkau tak pernah bosan mendengar doa setiap pagiku ini.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Baru saja kubuka salah satu kitab sakti. Kitab yang biasanya aku buka untuk mencari kata-kata yang sulit kupahami. Aku ingin mencari makna tentang kata-kata yang baru saja kau bisikkan saat percakapan di telepon tadi. Dua kata yang terdengar sederhana, namun rumit adanya.

"Aku akan mengatakannya sekali ini saja. Jadi dengarkan aku baik-baik." Ucapmu dengan nada gugup yang terlalu kentara. Aku diam saja. "Aku mencintaimu." ucapmu tanpa ragu. Namun terasa ambigu.

Lalu aku meminta untuk menyudahi percakapan lebih cepat dari biasanya. Kamu hanya mengiyakan dengan isyarat akan harapan.

Ya. Saat itulah aku beranjak dari tempatku. Mengambil kitab sakti itu: Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu mencari kata 'cinta' di sana.


cinta (1) suka sekali; sayang benar
men·cin·tai (n) menaruh kasih sayang kepada; menyukai

Oh. Jadi cinta itu artinya suka sekali. Mencintai itu artinya menaruh kasih sayang. Lalu, suka sekalinya itu seberapa banyak? Berapa banyak kadar suka agar dapat disebut cinta?

Seharusnya itu menjadi pertanyaan mendasar, bukan? Berapa banyak kadar suka agar dapat terbilang cinta? Mungkin saja, kamu terburu-buru mengukur kadar sukamu, dan terburu-buru mengatakannya padaku.

Akan lebih bijaksana bila, ketika kamu menyukai seseorang..kamu
tidak terburu-buru menghitung kadarnya sehingga tidak terjebak dalam kesemuan suka yang sementara. Tapi nampaknya tidak semudah itu mengatur perasaan, tidak semudah itu mengatur hasrat. Tapi alangkah lebih indahnya pengutaraan cinta itu jatuh di saat yang tepat, di pemahaman yang tepat.
Ya. Setidaknya itulah yang aku harapkan.
 
Sragen, 29 Agustus 2013