25 Apr 2014

Mentoring Mokamedia #1






“Bersahabatlah dengan penjual minyak wangi, maka kita akan menerima percikan wanginya. Manakala bersahabat dengan tukang besi, percikan apinya akan mencarikkan baju kita.”





Hal itulah yang telah lama saya yakini dan benar-benar terbukti. Ketika kamu berteman dengan sekumpulan orang yang suka merumpi maka kamu akan terbawa suka merumpi, ketika kamu berteman dengan sekumpulan orang pemikir maka kamu akan terbiasa berpikir.




Untuk itulah, mulai biasakan membaur dengan orang-orang hebat, maka kamu pun akan hebat. Dan orang hebat yang beberapa waktu lalu saya temui adalah editor saya sendiri, Mbak Dyah Rinni.


Pertemuan saya dengan Mbak Dee ini dalam rangka proses mentoring kepenulisan yang diadakan oleh Penerbit Mokamedia. Melalui proses seleksi, saya bersama teman lama saya, Bang Juliardi Ahmad, terpilih sebagai ‘anak didik’ yang akan dimentor oleh satu editor dari Mokamedia yang ternyata adalah Mbak Dee.

Kelas mentoring offline pertama ini berjalan santai tapi ‘greget’. Pada awalnya tugas pertama saya diperiksa, yakni berupa sinopsis lengkap dan outline utuh. Selain tugas tersebut, saya juga digencar dengan segala pertanyaan menyangkut ide cerita yang saya buat. Kali ini pelakunya adalah Mbak Sasa, yang juga merupakan editor Mokamedia. Rasanya dicecar pertanyaan oleh editor? Deg deg hhwwr.  

Pertanyaan yang diajukan mulai dari pertanyaan umum seperti, ide cerita hingga keterkaitan antartokoh. Sampai akhirnya seputar pertanyaan yang mendalam seperti setiap adegan yang memiliki arti sehingga tidak sia-sia dan logika cerita.

Untuk sesi pertama, saya berada di posisi aman yang artinya Mbak Dee menyetujui ide yang saya ajukan. Namun ketika saya menyimak penyampaian Bang Jul, saya jadi merasa kerdil. Rasanya ide saya itu pasaran banget. Ngga banget. Dan akhirnya saya menjadi gelisah.

Karena tidak ingin bermain aman, saya mempertanyakan kepada diri saya sendiri, “Benarkah ini yang benar-benar ingin saya tulis?”.  Karena sebaik-baiknya tulisan adalah yang ingin kamu baca kelak, bukan cerita yang sedang hits atau sekedar mengikuti arus. Akhirnya Mbak Dee mempertanyakan tentang segala hal; karakter tokoh, keterkaitan antartokoh, sudut pandang penulisan yang akan dipakai, sampai ending yang sebaiknya disajikan.

Selama proses mentoring, saya banyak menemukan pencerahan. Yang pertama adalah unsur terpenting dalam sebuah cerita.

Bukan ide, bukan setting. Namun yang sangat penting adalah tokoh.

Kenapa tokoh? Karena tokohlah yang akan kita ‘hidupkan’ di sebuah perjalanan yang akan kita tulis. Karena dari tokohlah kita dapat menemukan ide yang menarik, membuat adegan-adegan yang dinamis, hingga amanat yang akhirnya ingin disampaikan. Melalui tokohlah kita akan memulai segalanya. Inilah yang juga saya tangkap dalam buku “DRAF 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu” oleh Winna Efendi, yaitu tokohlah yang akan membawamu menemukan jalan cerita yang memukau, karena tokohlah yang kelak akan menemukan akhir kisah mereka.

Jadi, untuk yang pertama kali ditemukan adalah ide mentah. Disusul ciptakan tokoh-tokoh yang sebaiknya bermain dalam ‘kehidupan yang kita buat’. Tokoh seperti apa yang baik? Tentunya tokoh yang akan membawamu menemukan jalan cerita yang seru. Biarkan tokoh yang menunjukan arah mana yang sebaiknya kamu tulis dalam cerita hingga akhirnya sampai pada akhir cerita. Hal itu dapat kita temukan dari pikiran, perasaan, tingkah laku hingga masa lalu tokoh.


Pembelajaran kedua adalah ciptakan adegan yang memiliki makna, kalau perlu saling terkait sehingga tidak mubazir.

Hal ini masih banyak ditemui di novel Indonesia. Salah satu novel yang memiliki adegan yang memiliki makna adalah “Winter in Tokyo” karya Ilana Tan. Dalam novel tersebut, Ilana menyajikan adegan-adegan yang saling berhubungan, bisa berupa sebab-akibat ataupun memiliki makna yang spesial. Jadi, adegan yang ditulis pun tidak jadi adegan biasa..tapi adegan yang memberikan makna.
Caranya? Saya mempelajarinya dari buku Om A.S. Laksana yang dalam bukunya, “Creative Writing”, menyajikan konsep show don’t tell. Jadi tulislah seperti kamu ingin menunjukan sesuatu secara langsung, salah satunya dengan menggunakan detail.


Pembelajaran ketiga adalah buatlah tulisan yang filmis.
 
Apa itu filmis? Tulisan yang filmis itu biasa diartikan sebagai tulisan yang mendekati hal yang aslinya, menjadikan pembaca mudah untuk mengkhayalkannya. Jadi sewaktu pembaca tersebut melahap tulisan, pembaca dengan mudah membayangkannya sehingga membaca pun seperti menonton lewat tulisan. Hal ini juga memungkinkan novel tersebut mudah untuk ‘dilirik’ produksi film, karena tentunya mereka mencari naskah cerita yang mudah sekaligus memikat untuk ditranskripsikan menjadi sebuah film.

Pelajaran diatas hanyalah sekelumit yang dapat saya tulis kembali disini, selain itu? Banyaklah membaca buku panduan menulis dan satu lagi, bacalah buku tentang bagaimana cara proses kreatif. Karena pada dasarnya menulis bukan hanya tentang teknik menulis, tetapi lebih kepada berproses untuk kreatif.

Dan inilah beberapa wejangan dari Mbak Dee, beberapa diantaranya adalah buku tentang cara berproses kreatif. Untuk buku-buku ini, akan saya tuliskan di artikel selanjutnya ya :)