11 Feb 2015

How To Meet Your Destiny


By: Astrid Nurhasanah a.k.a Achi Narahashi

Kamu menjejak di usia dua puluh empat, tepat tahun ini. Usia yang dulu kamu takuti, karena masih banyak yang belum kamu mengerti. Salah satunya adalah perihal kedewasaan dan komitmen yang tak bertepi; mengapa manusia harus membagikan jiwa, waktu, dan masa depannya dengan orang lain? Atau istilah yang biasa dipakai Ibumu yang mulai merongrong untuk lekas kamu lakukan tak lama lagi, menikah dan memiliki buah hati.

Kamu mendebat Ibumu kala itu, “Haruskah aku menikah, Bu? Bukan berarti perempuan yang tidak menikah sudah pasti tidak memiliki masa depan, kan?”

“Perempuan sejati adalah perempuan yang berhasil melakoni tiga peran dalam hidupnya dengan baik, Nak. Sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu. Bukankah kamu pernah membaca itu di buku-bukumu?”

Kamu hanya menghela napas berat dan mengurung diri setelah itu.

Tentu saja kamu memilih begitu. Karena kamu telah meninggalkan atau bahkan melupakan sahabatmu, buku-buku yang tahu segala itu. Sahabat yang dulu senantiasa menemanimu tidur, yang terkadang kamu jadikan bantal atau selimutmu. Sahabat yang dulu membangunkanmu melalui angin yang meniup lembaran-lembarannya sehingga menggelitik wajahmu. Sahabat yang dulu setia menemanimu ketika menunggu, baik menunggu seseorang atau pun sekedar menunggu berakhirnya waktu.

Namun kini, sahabatmu itu lebih sering mengeluh padaku. Kata mereka, punggung mereka telah berdebu, kulit mereka tengah menguning dan beberapa di antara mereka mulai ringkih karena lapuk tak tersentuh. Mereka rindu ketika kamu menggandeng mereka ke luar, menatap wajah mereka dan membaca pikiran-pikiran mereka. Mereka teringat ketika mereka mampu membuatmu tersenyum, terdiam lama atau pun menitikkan air mata.

Kemudian mereka sakit hati ketika kamu mengucapkan sesuatu pada hari ulang tahunmu empat tahun lalu, “Jangan memberikanku kado ulang tahun buku-buku lagi, Bu. Dongeng-dongeng itu sudah tidak cocok untukku. Aku bukan anak kecil lagi yang mendamba seorang pangeran untuk meminangku.”

Hingga akhirnya, beberapa hari kemudian Ibumu mengenalkanmu pada sahabat baru, sebuah benda mungil dengan layar warna-warni yang tak kunjung lepas dari tanganmu. Membuat sahabat lamamu semakin sakit hati karena kamu benar-benar mengabaikan mereka mulai saat itu. 

Aku menduga-duga apa yang membuatmu menjadi seperti itu. Karena kehadiran benda mungil yang selalu mengambil jatah perhatianmukah? Atau karena dirimu saja yang memang sudah bosan dengan dunia kecil di sudut kamar?
---

Aku jadi teringat bagaimana dirimu tumbuh. Kamu tipe gadis pendiam tak banyak bicara, tampak sulit mengungkapkan pikiran maupun rasa. Kamu lebih sering memilih untuk tidur, atau sekedar mengamati bergantinya musim demi musim dari balik jendela kamarmu. Memandangi teman kecilmu mandi bersama-sama di bawah guyuran hujan maupun saat teman-temanmu menangkap serangga-serangga di musim kemarau.

Ketika kamu mulai masuk sekolah, kamu sempat aktif di berbagai kegiatan pecinta alam. Kamu tergila-gila dengan perjalanan, mulai mengamati dunia yang sebelumnya hanya sebatas jendela kaca 60 x 90 cm milikmu. Namun kecintaanmu itu membuat Ibumu menjadi khawatir akan keselamatanmu dan mulai membatasimu.

Hingga akhirnya Ibumu mengerti tipe teman seperti apa yang cocok untumu. Teman yang banyak bercerita padamu tanpa perlu kamu menyahutnya, teman yang menenamimu baik di segala masa, teman yang mengajakmu berkhayal hingga langit teratas tanpa perlu bangkit dari sofa.

Dan kamu pun jatuh cinta pada sentuhan pertama. Pada sahabat-sahabat kurusmu yang semakin lama semakin gendut saja. Semakin gendut mereka semakin enak untuk dijadikan bantal, pikirmu. Karena kamu percaya, sahabatmulah yang menyerap mimpi burukmu dan memenjarakan mimpi buruk itu dalam salah satu bab mereka. Sehingga yang kamu mimpikan adalah hal-hal yang indah saja.

“Kamu itu anak Ibu yang paling aneh. Selalu punya dunia sendiri. Dan duniamu itu berganti-ganti. Dulu duniamu adalah tidurmu, kamu gemar sekali tidur. Seakan-akan mimpimu terus berlanjut dan tiada putus. Pernah juga duniamu berputar pada penjelajahanmu. Kamu ikut pramuka dan kelompok pecinta alam yang menjadikan kulitmu gelap begitu. Sekarang, duniamu tak bergerak sejengkal pun dari tumpukan buku. Kamu bisa tahan duduk rebahan selama berjam-jam dengan segala posisi aneh sampai-sampai Ibu khawatir nantinya kamu akan mendapatkan penyakit karena sendi-sendi yang jarang kamu gerakkan itu.” Ucap Ibumu kala itu.

Pada awalnya kamu hanya terdiam, lalu perlahan tertawa tanpa suara. Aku tahu, kamu ingin sekali menjelaskan pada Ibumu, bahwa tumpukan buku yang bagi Ibumu hanya menyesakkan rumah kecil kalian itu adalah sesuatu yang berharga bagimu. Kamu mendapatkan dunia mimpi dan menjelajah dunia tanpa harus bergerak dari tempatmu. Kamu ingin sekali menjelaskannya...tapi tidak pada saat itu.

Namun nyatanya, saat-saat di mana seharusnya kamu menjelaskan pada Ibumu, tak kunjung datang. Karena kamu sudah terlanjur bosan. Atau tengah mengambil jeda, atau mencari dunia lain yang belum kamu temui sebelumnya. Sebenarnya kamu merasa berdosa, karena kamu toh sudah berniat akan memenjarakan sahabatmu itu, dalam kardus bau apek lalu mengikatnya kuat-kuat dengan rapia.

Dan kabar itu terdengar oleh sahabat-sahabatmu. Mereka bingung harus bersedih karena dipenjarakan atau malah merasa beruntung karena tidak berakhir dengan dibakar atau dijadikan bungkus cabai di pasar.

Dan akhirnya aku tahu alasanmu bersikap aneh belakangan ini, tepat detik ini. Ketika kamu menyiapkan ranselmu dan menenteng sebuah buku. Buku dengan halaman-halaman kosong yang bagian depannya tertulis, “Cerita Perjalanan dan Mimpi-mimpiku.” Tiga dunia yang pernah ada di hidupmu; cerita, perjalanan dan mimpi dalam tidurmu.

Kamu pun mengecup tangan Ibumu yang mulai mengeriput, menyedot kembali ingusmu dan mengusap diam-diam air matamu. “Aku akan menjelajah untuk menemukan mimpi dan menulis ceritaku sendiri, Bu. Saat ketiganya telah kumaknai dengan sungguh-sungguh, aku yakin aku telah mengenal diriku yang seutuhnya. Saat itu jugalah aku akan pulang dan siap berbagi apa pun dalam hidupku dengan lelaki pilihanmu. Karena aku harus memperkaya diriku dulu, agar aku tak membuatmu malu ketika harus berbagi dengan suamiku. Karena aku anak gadismu yang ingin tumbuh tegar, bukan boneka porselin yang sangat rapuh. Aku hanya memohon Ibu untuk merestuiku, karena inilah caraku untuk bertemu takdirku.”

Permintaanmu terkabulkan dengan satu anggukan dan sebersit senyuman dari Ibumu. Saat itu jugalah semesta membuka gerbangnya padamu dan menghamparkan jalannya untukmu.  

---

29 Agu 2014

Tentang Merelakan

Tubuhku menggigil hingga buku jemariku mati rasa. Dimulai dari lengan, merambat naik ke pundak, hingga akhirnya sampai ke kepala usapan dingin itu makin memuncak. Sapuan napas yang tercekat itu seketika melembut saat berhasil mendekapku erat.
"Bagaimana bisa kau tidur dengan pikiran-pikiran
yang berisik seperti itu?" Nadanya tajam seperti matanya. Napasnya dingin seperti auranya.
"Kau tidak tahu rasanya. Ini terjadi di luar kendaliku."

Dia terlihat seperti menahan amarah, "Itu karena kau belum merelakan sesuatu yang seharusnya kau relakan."

"Kau sama sekali tak pantas berbicara mengenai mengikhlaskan. Karena kau sama sekali belum pernah melakukannya."

"Tapi aku selalu mengusahakannya
, kau tahu
..aku selalu mengusahakannya
setelah aku memilihmu."
"Kau memang bodoh. Kau sendirilah yang membuatku begini, bodoh. Kata-katamu lah yang terus membuatku begini." Aku terisak menahan tangis.

Jemarinya terangkat hendak mengusap, namun urung dilakukan.
 
Sragen, 23 Agustus 2014

Ibu dan Buku

"Kamu itu anak Ibu yang paling aneh. Selalu punya dunia sendiri. Dan duniamu itu berganti-ganti.
Dulu duniamu adalah tidurmu, kamu gemar sekali tidur. Seakan-akan mimpimu terus berlanjut dan tiada berujung. Pernah juga duniamu berputar pada penjelajahanmu. Kamu ikut pramuka dan kelompok pecinta alam yang menjadikan kulitmu gelap begitu. Sekarang, duniamu tak bergerak sejengkal pun dari tumpukan buku. Kamu bisa tahan duduk atau rebahan selama berjam-jam dengan segala posisi aneh sampai-sampai Ibu khawatir nantinya kamu akan mendapatkan penyakit karena sendi-sendi yang tak kamu gerakkan itu."
Pada awalnya aku hanya terdiam, lalu tertawa tanpa suara. Aku ingin sekali menjelaskan padanya, bahwa tumpukan buku yang baginya hanya menyesakkan rumah kecil kami itu sesuatu yang berharga. Aku mendapatkan dunia mimpi dan dunia menjelajahku dalam satu paket di dalamnya. Aku dapat bermimpi tanpa harus tidur dan dapat menjelajah dunia tanpa harus bergerak dari tempatku. Aku ingin sekali menjelaskannya.
.tapi tidak sekarang. Nanti. Saat bukuku akan memenuhi rumah kecil kami dan aku akan menemukan beragam dunia yang masih tersembunyi. Entah dunia pelintas waktu, dunia penuh cermin atau pun dunia yang lain.
Nanti ya Bu. Ibu akan bersabar untukku, kan?

Bisik Embun



03.00 - Aku baru saja kembali, menyudahi pertemuan dinginku dengan embun. Mereka banyak berbicara padaku, namun aku terlalu menggigil sehingga lebih sering mengantukkan kepala serta meniupkan telapak tanganku. Yang terakhir kali kudengar, tak sekali pun embun merasa masanya terlalu singkat. Dia rela matahari membakar dirinya, menguapkan setiap buliran dirinya terbang kembali ke langit. Mereka bahagia. Karena merekalah yang menemani doa-doa para manusia untuk sampai ke langit. Segala macam doa; doa sebelum tidur, doa igauan mimpi, doa dalam sujud tahajjud atau pun doa yang hanya dirapalkan dalam hati.

Terima Kasih. Semoga engkau tak pernah bosan mendengar doa setiap pagiku ini.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Baru saja kubuka salah satu kitab sakti. Kitab yang biasanya aku buka untuk mencari kata-kata yang sulit kupahami. Aku ingin mencari makna tentang kata-kata yang baru saja kau bisikkan saat percakapan di telepon tadi. Dua kata yang terdengar sederhana, namun rumit adanya.

"Aku akan mengatakannya sekali ini saja. Jadi dengarkan aku baik-baik." Ucapmu dengan nada gugup yang terlalu kentara. Aku diam saja. "Aku mencintaimu." ucapmu tanpa ragu. Namun terasa ambigu.

Lalu aku meminta untuk menyudahi percakapan lebih cepat dari biasanya. Kamu hanya mengiyakan dengan isyarat akan harapan.

Ya. Saat itulah aku beranjak dari tempatku. Mengambil kitab sakti itu: Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu mencari kata 'cinta' di sana.


cinta (1) suka sekali; sayang benar
men·cin·tai (n) menaruh kasih sayang kepada; menyukai

Oh. Jadi cinta itu artinya suka sekali. Mencintai itu artinya menaruh kasih sayang. Lalu, suka sekalinya itu seberapa banyak? Berapa banyak kadar suka agar dapat disebut cinta?

Seharusnya itu menjadi pertanyaan mendasar, bukan? Berapa banyak kadar suka agar dapat terbilang cinta? Mungkin saja, kamu terburu-buru mengukur kadar sukamu, dan terburu-buru mengatakannya padaku.

Akan lebih bijaksana bila, ketika kamu menyukai seseorang..kamu
tidak terburu-buru menghitung kadarnya sehingga tidak terjebak dalam kesemuan suka yang sementara. Tapi nampaknya tidak semudah itu mengatur perasaan, tidak semudah itu mengatur hasrat. Tapi alangkah lebih indahnya pengutaraan cinta itu jatuh di saat yang tepat, di pemahaman yang tepat.
Ya. Setidaknya itulah yang aku harapkan.
 
Sragen, 29 Agustus 2013

25 Apr 2014

Mentoring Mokamedia #1






“Bersahabatlah dengan penjual minyak wangi, maka kita akan menerima percikan wanginya. Manakala bersahabat dengan tukang besi, percikan apinya akan mencarikkan baju kita.”





Hal itulah yang telah lama saya yakini dan benar-benar terbukti. Ketika kamu berteman dengan sekumpulan orang yang suka merumpi maka kamu akan terbawa suka merumpi, ketika kamu berteman dengan sekumpulan orang pemikir maka kamu akan terbiasa berpikir.




Untuk itulah, mulai biasakan membaur dengan orang-orang hebat, maka kamu pun akan hebat. Dan orang hebat yang beberapa waktu lalu saya temui adalah editor saya sendiri, Mbak Dyah Rinni.


Pertemuan saya dengan Mbak Dee ini dalam rangka proses mentoring kepenulisan yang diadakan oleh Penerbit Mokamedia. Melalui proses seleksi, saya bersama teman lama saya, Bang Juliardi Ahmad, terpilih sebagai ‘anak didik’ yang akan dimentor oleh satu editor dari Mokamedia yang ternyata adalah Mbak Dee.

Kelas mentoring offline pertama ini berjalan santai tapi ‘greget’. Pada awalnya tugas pertama saya diperiksa, yakni berupa sinopsis lengkap dan outline utuh. Selain tugas tersebut, saya juga digencar dengan segala pertanyaan menyangkut ide cerita yang saya buat. Kali ini pelakunya adalah Mbak Sasa, yang juga merupakan editor Mokamedia. Rasanya dicecar pertanyaan oleh editor? Deg deg hhwwr.  

Pertanyaan yang diajukan mulai dari pertanyaan umum seperti, ide cerita hingga keterkaitan antartokoh. Sampai akhirnya seputar pertanyaan yang mendalam seperti setiap adegan yang memiliki arti sehingga tidak sia-sia dan logika cerita.

Untuk sesi pertama, saya berada di posisi aman yang artinya Mbak Dee menyetujui ide yang saya ajukan. Namun ketika saya menyimak penyampaian Bang Jul, saya jadi merasa kerdil. Rasanya ide saya itu pasaran banget. Ngga banget. Dan akhirnya saya menjadi gelisah.

Karena tidak ingin bermain aman, saya mempertanyakan kepada diri saya sendiri, “Benarkah ini yang benar-benar ingin saya tulis?”.  Karena sebaik-baiknya tulisan adalah yang ingin kamu baca kelak, bukan cerita yang sedang hits atau sekedar mengikuti arus. Akhirnya Mbak Dee mempertanyakan tentang segala hal; karakter tokoh, keterkaitan antartokoh, sudut pandang penulisan yang akan dipakai, sampai ending yang sebaiknya disajikan.

Selama proses mentoring, saya banyak menemukan pencerahan. Yang pertama adalah unsur terpenting dalam sebuah cerita.

Bukan ide, bukan setting. Namun yang sangat penting adalah tokoh.

Kenapa tokoh? Karena tokohlah yang akan kita ‘hidupkan’ di sebuah perjalanan yang akan kita tulis. Karena dari tokohlah kita dapat menemukan ide yang menarik, membuat adegan-adegan yang dinamis, hingga amanat yang akhirnya ingin disampaikan. Melalui tokohlah kita akan memulai segalanya. Inilah yang juga saya tangkap dalam buku “DRAF 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu” oleh Winna Efendi, yaitu tokohlah yang akan membawamu menemukan jalan cerita yang memukau, karena tokohlah yang kelak akan menemukan akhir kisah mereka.

Jadi, untuk yang pertama kali ditemukan adalah ide mentah. Disusul ciptakan tokoh-tokoh yang sebaiknya bermain dalam ‘kehidupan yang kita buat’. Tokoh seperti apa yang baik? Tentunya tokoh yang akan membawamu menemukan jalan cerita yang seru. Biarkan tokoh yang menunjukan arah mana yang sebaiknya kamu tulis dalam cerita hingga akhirnya sampai pada akhir cerita. Hal itu dapat kita temukan dari pikiran, perasaan, tingkah laku hingga masa lalu tokoh.


Pembelajaran kedua adalah ciptakan adegan yang memiliki makna, kalau perlu saling terkait sehingga tidak mubazir.

Hal ini masih banyak ditemui di novel Indonesia. Salah satu novel yang memiliki adegan yang memiliki makna adalah “Winter in Tokyo” karya Ilana Tan. Dalam novel tersebut, Ilana menyajikan adegan-adegan yang saling berhubungan, bisa berupa sebab-akibat ataupun memiliki makna yang spesial. Jadi, adegan yang ditulis pun tidak jadi adegan biasa..tapi adegan yang memberikan makna.
Caranya? Saya mempelajarinya dari buku Om A.S. Laksana yang dalam bukunya, “Creative Writing”, menyajikan konsep show don’t tell. Jadi tulislah seperti kamu ingin menunjukan sesuatu secara langsung, salah satunya dengan menggunakan detail.


Pembelajaran ketiga adalah buatlah tulisan yang filmis.
 
Apa itu filmis? Tulisan yang filmis itu biasa diartikan sebagai tulisan yang mendekati hal yang aslinya, menjadikan pembaca mudah untuk mengkhayalkannya. Jadi sewaktu pembaca tersebut melahap tulisan, pembaca dengan mudah membayangkannya sehingga membaca pun seperti menonton lewat tulisan. Hal ini juga memungkinkan novel tersebut mudah untuk ‘dilirik’ produksi film, karena tentunya mereka mencari naskah cerita yang mudah sekaligus memikat untuk ditranskripsikan menjadi sebuah film.

Pelajaran diatas hanyalah sekelumit yang dapat saya tulis kembali disini, selain itu? Banyaklah membaca buku panduan menulis dan satu lagi, bacalah buku tentang bagaimana cara proses kreatif. Karena pada dasarnya menulis bukan hanya tentang teknik menulis, tetapi lebih kepada berproses untuk kreatif.

Dan inilah beberapa wejangan dari Mbak Dee, beberapa diantaranya adalah buku tentang cara berproses kreatif. Untuk buku-buku ini, akan saya tuliskan di artikel selanjutnya ya :)



17 Jan 2014

Lomba SPEEDY TRIBUN TIMUR



Jarak Bukan Penghalang




“Jarak seharusnya bukan jadi penghalang, kan? Terkadang yang menjadi penghalang itu diri kita sendiri yang ngga mau berusaha.”

Tiba-tiba ucapan dia saat mengantarkanku pergi terputar dibenakku. Saat itu air mataku yang mengalir deras, namun kini hujan yang kian deras. Huh, bukan penghalang apanya. Untuk berkomunikasi disaat cuaca tak bersahabat seperti ini saja sudah menguras kesabaran.  

Kembali kucoba mengoneksikan internet, nihil. Sepertinya sinyal tengah terombang-ambing ditiup riuhnya angin berpadu hujan. Aku merengut, memikirkan cara lain agar bisa menghubunginya.

“Jarak seharusnya bukan jadi penghalang, kan? Terkadang yang menjadi penghalang itu diri kita sendiri yang ngga mau berusaha.”

Usaha? 

Langsung kusambar payung dan jaket tebalku. Memberanikan diri menerjang butiran air yang menghantam bumi. Ku percepat langkah menuju counter pulsa terdekat.
“Mas, provider yang koneksinya cepat dan tahan cuaca itu apa ya?” Tanyaku kepada penjaga counter.
“Memang biasanya dipakai untuk apa, Mbak?”
“Skype, browsing..”
“Coba Telkom Speedy aja Mbak, banyak testimoni pelanggan saya yang bilang speedy koneksinya memuaskan. Tapi untuk harga...”
“Ngga masalah pak, kalau harganya sebanding dengan kualitas ngga masalah. Dari pada promo ini itu tapi omong doang.”
“Haha iya Mbak. Tapi harga speedy juga terjangkau kok.”
Setelah selesai membeli yang kubutuhkan, aku kembali ke rumah. Memasang peralatan, lalu kembali mengoneksikan internet. Tak butuh waktu lama, halaman web yang kuhendaki terpampang di layar.
Aku menatap wajahnya yang kini memenuhi layar. Seperti tengah menahan kesal.
“Maaf, koneksi internetku..”
“Iya, aku tahu.”
“Hasyiiim !” Aku bersin diluar kendali.
“Kamu sakit? Hujan-hujanan ya?”
“Mungkin.”
 
“Kan udah kubilang jangan.”
“Tapi katamu kan harus usaha.”Batinku, tak urung kuucapkan.
Aku hanya tersenyum dengan hidung yang memerah, “Selamat hari kasih sayang.”
“Selamat hari kasih sayang juga. Terima kasih ya sudah mau berusaha.” Balasnya dengan jari-jarinya yang mengusap layar, berusaha meraihku, menyentuhku.
Kini bukan hanya hidungku yang memerah, tapi juga pipiku. Rupanya dia tahu, dia memang selalu tahu.