By: Astrid Nurhasanah a.k.a Achi Narahashi
Kamu
menjejak di usia dua puluh empat, tepat tahun ini. Usia yang dulu kamu takuti,
karena masih banyak yang belum kamu mengerti. Salah satunya adalah perihal
kedewasaan dan komitmen yang tak bertepi; mengapa manusia harus membagikan
jiwa, waktu, dan masa depannya dengan orang lain? Atau istilah yang biasa
dipakai Ibumu yang mulai merongrong untuk lekas kamu lakukan tak lama lagi,
menikah dan memiliki buah hati.
Kamu
mendebat Ibumu kala itu, “Haruskah aku menikah, Bu? Bukan berarti perempuan
yang tidak menikah sudah pasti tidak memiliki masa depan, kan?”
“Perempuan
sejati adalah perempuan yang berhasil melakoni tiga peran dalam hidupnya dengan
baik, Nak. Sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu. Bukankah kamu pernah
membaca itu di buku-bukumu?”
Kamu
hanya menghela napas berat dan mengurung diri setelah itu.
Tentu
saja kamu memilih begitu. Karena kamu telah meninggalkan atau bahkan melupakan
sahabatmu, buku-buku yang tahu segala itu. Sahabat yang dulu senantiasa
menemanimu tidur, yang terkadang kamu jadikan bantal atau selimutmu. Sahabat
yang dulu membangunkanmu melalui angin yang meniup lembaran-lembarannya sehingga
menggelitik wajahmu. Sahabat yang dulu setia menemanimu ketika menunggu, baik
menunggu seseorang atau pun sekedar menunggu berakhirnya waktu.
Namun
kini, sahabatmu itu lebih sering mengeluh padaku. Kata mereka, punggung mereka
telah berdebu, kulit mereka tengah menguning dan beberapa di antara mereka
mulai ringkih karena lapuk tak tersentuh. Mereka rindu ketika kamu menggandeng
mereka ke luar, menatap wajah mereka dan membaca pikiran-pikiran mereka. Mereka
teringat ketika mereka mampu membuatmu tersenyum, terdiam lama atau pun
menitikkan air mata.
Kemudian
mereka sakit hati ketika kamu mengucapkan sesuatu pada hari ulang tahunmu empat
tahun lalu, “Jangan memberikanku kado ulang tahun buku-buku lagi, Bu.
Dongeng-dongeng itu sudah tidak cocok untukku. Aku bukan anak kecil lagi yang
mendamba seorang pangeran untuk meminangku.”
Hingga
akhirnya, beberapa hari kemudian Ibumu mengenalkanmu pada sahabat baru, sebuah
benda mungil dengan layar warna-warni yang tak kunjung lepas dari tanganmu.
Membuat sahabat lamamu semakin sakit hati karena kamu benar-benar mengabaikan
mereka mulai saat itu.
Aku
menduga-duga apa yang membuatmu menjadi seperti itu. Karena kehadiran benda
mungil yang selalu mengambil jatah perhatianmukah? Atau karena dirimu saja yang
memang sudah bosan dengan dunia kecil di sudut kamar?
---
Aku
jadi teringat bagaimana dirimu tumbuh. Kamu tipe gadis pendiam tak banyak
bicara, tampak sulit mengungkapkan pikiran maupun rasa. Kamu lebih sering
memilih untuk tidur, atau sekedar mengamati bergantinya musim demi musim dari
balik jendela kamarmu. Memandangi teman kecilmu mandi bersama-sama di bawah
guyuran hujan maupun saat teman-temanmu menangkap serangga-serangga di musim
kemarau.
Ketika
kamu mulai masuk sekolah, kamu sempat aktif di berbagai kegiatan pecinta alam.
Kamu tergila-gila dengan perjalanan, mulai mengamati dunia yang sebelumnya
hanya sebatas jendela kaca 60 x 90 cm milikmu. Namun kecintaanmu itu membuat
Ibumu menjadi khawatir akan keselamatanmu dan mulai membatasimu.
Hingga
akhirnya Ibumu mengerti tipe teman seperti apa yang cocok untumu. Teman yang
banyak bercerita padamu tanpa perlu kamu menyahutnya, teman yang menenamimu
baik di segala masa, teman yang mengajakmu berkhayal hingga langit teratas
tanpa perlu bangkit dari sofa.
Dan
kamu pun jatuh cinta pada sentuhan pertama. Pada sahabat-sahabat kurusmu yang
semakin lama semakin gendut saja. Semakin gendut mereka semakin enak untuk
dijadikan bantal, pikirmu. Karena kamu percaya, sahabatmulah yang menyerap
mimpi burukmu dan memenjarakan mimpi buruk itu dalam salah satu bab mereka.
Sehingga yang kamu mimpikan adalah hal-hal yang indah saja.
“Kamu
itu anak Ibu yang paling aneh. Selalu punya dunia sendiri. Dan duniamu itu
berganti-ganti. Dulu duniamu adalah tidurmu, kamu gemar sekali tidur.
Seakan-akan mimpimu terus berlanjut dan tiada putus. Pernah juga duniamu
berputar pada penjelajahanmu. Kamu ikut pramuka dan kelompok pecinta alam yang
menjadikan kulitmu gelap begitu. Sekarang, duniamu tak bergerak sejengkal pun
dari tumpukan buku. Kamu bisa tahan duduk rebahan selama berjam-jam dengan
segala posisi aneh sampai-sampai Ibu khawatir nantinya kamu akan mendapatkan
penyakit karena sendi-sendi yang jarang kamu gerakkan itu.” Ucap Ibumu kala
itu.
Pada
awalnya kamu hanya terdiam, lalu perlahan tertawa tanpa suara. Aku tahu, kamu
ingin sekali menjelaskan pada Ibumu, bahwa tumpukan buku yang bagi Ibumu hanya
menyesakkan rumah kecil kalian itu adalah sesuatu yang berharga bagimu. Kamu mendapatkan
dunia mimpi dan menjelajah dunia tanpa harus bergerak dari tempatmu. Kamu ingin
sekali menjelaskannya...tapi tidak pada saat itu.
Namun
nyatanya, saat-saat di mana seharusnya kamu menjelaskan pada Ibumu, tak kunjung
datang. Karena kamu sudah terlanjur bosan. Atau tengah mengambil jeda, atau
mencari dunia lain yang belum kamu temui sebelumnya. Sebenarnya kamu merasa
berdosa, karena kamu toh sudah berniat akan memenjarakan sahabatmu itu, dalam
kardus bau apek lalu mengikatnya kuat-kuat dengan rapia.
Dan
kabar itu terdengar oleh sahabat-sahabatmu. Mereka bingung harus bersedih
karena dipenjarakan atau malah merasa beruntung karena tidak berakhir dengan
dibakar atau dijadikan bungkus cabai di pasar.
Dan
akhirnya aku tahu alasanmu bersikap aneh belakangan ini, tepat detik ini.
Ketika kamu menyiapkan ranselmu dan menenteng sebuah buku. Buku dengan
halaman-halaman kosong yang bagian depannya tertulis, “Cerita Perjalanan dan
Mimpi-mimpiku.” Tiga dunia yang pernah ada di hidupmu; cerita, perjalanan dan mimpi
dalam tidurmu.
Kamu
pun mengecup tangan Ibumu yang mulai mengeriput, menyedot kembali ingusmu dan
mengusap diam-diam air matamu. “Aku akan menjelajah untuk menemukan mimpi dan
menulis ceritaku sendiri, Bu. Saat ketiganya telah kumaknai dengan
sungguh-sungguh, aku yakin aku telah mengenal diriku yang seutuhnya. Saat itu
jugalah aku akan pulang dan siap berbagi apa pun dalam hidupku dengan lelaki
pilihanmu. Karena aku harus memperkaya diriku dulu, agar aku tak membuatmu malu
ketika harus berbagi dengan suamiku. Karena aku anak gadismu yang ingin tumbuh
tegar, bukan boneka porselin yang sangat rapuh. Aku hanya memohon Ibu untuk
merestuiku, karena inilah caraku untuk bertemu takdirku.”
Permintaanmu
terkabulkan dengan satu anggukan dan sebersit senyuman dari Ibumu. Saat itu
jugalah semesta membuka gerbangnya padamu dan menghamparkan jalannya
untukmu.
---